Rabu, 06 Agustus 2014

Makalah Fraktur Humerus



BAB I
PENDAHULUAN


Fraktur humerus merupakan diskontinuitas jaringan tulang humerus. Fraktur tersebut umumnya disebabkan oleh trauma. Selain dapat menimbulkan patahtulang (fraktur), trauma juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar tulang humerus tersebut, misalnya vulnus (luka), perdarahan, memar (kontusio), regangan atau robek parsial (sprain), putus atau robek (avulsi atau ruptur),gangguan pembuluh darah, dan gangguan saraf (neuropraksia, aksonotmesis, neurolisis).
 Setiap fraktur dan kerusakan jaringan lunak sekitar tulang tersebut harus ditanggulangi sesuai dengan prinsip penanggulangan cedera muskuloskeletal. Prinsip tersebut meliputi rekognisi (mengenali), reduksi (mengembalikan), retaining (mempertahankan), dan rehabilitasi.
Agar penanganannya baik, perlu diketahui kerusakan apa saja yang terjadi, baik pada tulang maupun jaringan lunaknya. Mekanisme trauma juga sangat penting untuk diketahui.















BAB II
TINJAUAN TEORITIS


1.    Pengertian
a.    Fraktur
Adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing.
b.    Patah Tulang Tertutup
Didalam buku Kapita Selekta Kedokteran tahun 2000, diungkapkan bahwa patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar. Pendapat lain menyatidakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).
c.    Patah Tulang Humerus
Adalah diskontinuitas atau hilangnya struktur dari tulang humerus yang terbagi atas :
1.    Fraktur Suprakondilar Humerus
2.    Fraktur Interkondiler Humerus
3.    Fraktur Batang Humerus
4.    Fraktur Kolum Humerus
Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
1.    Tipe Ekstensi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.

2.    Tipe Fleksi
Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan dalam posisi pronasi. (Mansjoer, Arif, et al, 2000)
d.    Platting
Adalah salah satu bentuk dari fiksasi internal menggunakan plat yang terletak sepanjang tulang dan berfungsi sebagai jembatan yang difiksasi dengan sekrup. Keuntungan :
1.    Tercapainya kestabilan dan perbaikan tulang seanatomis mungkin yang sangat penting bila ada cedera vaskuler, saraf, dan lain-lain.
2.    Aliran darah ke tulang yang patah baik sehingga mempengaruhi proses penyembuhan tulang.
3.    Klien tidak akan tirah baring lama.
4.    Kekakuan dan oedema dapat dihilangkan karena bagian fraktur bisa segera digerakkan.
Kerugian :
1.    Fiksasi interna berarti suatu anestesi, pembedahan, dan jaringan parut.
2.    Kemungkinan untuk infeksi jauh lebih besar.
3.    Osteoporosis bisa menyebabkan terjadinya fraktur sekunder atau berulang.
2.    Anatomi Dan Fisiologi
a.    Struktur Tulang
Tulang sangat bermacam-macam baik dalam bentuk ataupun ukuran, tapi mereka masih punya struktur yang sama. Lapisan yang paling luar disebut Periosteum dimana terdapat pembuluh darah dan saraf. Lapisan dibawah periosteum mengikat tulang dengan benang kolagen disebut benang sharpey, yang masuk ke tulang disebut korteks. Karena itu korteks sifatnya keras dan tebal sehingga disebut tulang kompak. Korteks tersusun solid dan sangat kuat yang disusun dalam unit struktural yang disebut Sistem Haversian. Tiap sistem terdiri atas kanal utama yang disebut Kanal Haversian. Lapisan melingkar dari matriks tulang disebut Lamellae, ruangan sempit antara lamellae disebut Lakunae (didalamnya terdapat osteosit) dan Kanalikuli. Tiap sistem kelihatan seperti lingkaran yang menyatu. Kanal Haversian terdapat sepanjang tulang panjang dan di dalamnya terdapat pembuluh darah dan saraf yang masuk ke tulang melalui Kanal Volkman. Pembuluh darah inilah yang mengangkut nutrisi untuk tulang dan membuang sisa metabolisme keluar tulang. Lapisan tengah tulang merupakan akhir dari sistem Haversian, yang didalamnya terdapat Trabekulae (batang) dari tulang.Trabekulae ini terlihat seperti spon tapi kuat sehingga disebut Tulang Spon yang didalam nya terdapat bone marrow yang membentuk sel-sel darah merah. Bone Marrow ini terdiri atas dua macam yaitu bone marrow merah yang memproduksi sel darah merah melalui proses hematopoiesis dan bone marrow kuning yang terdiri atas sel-sel lemak dimana jika dalam proses fraktur bisa menyebabkan Fat Embolism Syndrom (FES).
Tulang terdiri dari tiga sel yaitu osteoblast, osteosit, dan osteoklast. Osteoblast merupakan sel pembentuk tulang yang berada di bawah tulang baru. Osteosit adalah osteoblast yang ada pada matriks. Sedangkan osteoklast adalah sel penghancur tulang dengan menyerap kembali sel tulang yang rusak maupun yang tua. Sel tulang ini diikat oleh elemen-elemen ekstra seluler yang disebut matriks. Matriks ini dibentuk oleh benang kolagen, protein, karbohidrat, mineral, dan substansi dasar (gelatin) yang berfungsi sebagai media dalam difusi nutrisi, oksigen, dan sampah metabolisme antara tulang daengan pembuluh darah. Selain itu, didalamnya terkandung garam kalsium organik (kalsium dan fosfat) yang menyebabkan tulang keras.sedangkan aliran darah dalam tulang antara 200 – 400 ml/ menit melalui proses vaskularisasi tulang (Black,J.M,et al,1993 dan Ignatavicius, Donna. D,1995).
1.    Tulang Panjang
Adalah tulang yang panjang berbentuk silinder dimana ujungnya bundar dan sering menahan beban berat (Ignatavicius, Donna. D, 1995). Tulang panjang terdiriatas epifisis, tulang rawan, diafisis, periosteum, dan medula tulang. Epifisis (ujung tulang) merupakan tempat menempelnya tendon dan mempengaruhi kestabilan sendi. Tulang rawan menutupi seluruh sisi dari ujung tulang dan mempermudah pergerakan, karena tulang rawan sisinya halus dan licin. Diafisis adalah bagian utama dari tulang panjang yang memberikan struktural tulang. Metafisis merupakan bagian yang melebar dari tulang panjang antara epifisis dan diafisis. Metafisis ini merupakan daerah pertumbuhan tulang selama masa pertumbuhan. Periosteum merupakan penutup tulang sedang rongga medula (marrow) adalah pusat dari diafisis (Black, J.M, et al, 1993)
2.    Tulang Humerus
Tulang humerus terbagi menjadi tiga bagian yaitu kaput (ujung atas), korpus, dan ujung bawah.
a)  Kaput
Sepertiga dari ujung atas humerus terdiri atas sebuah kepala, yang membuat sendi dengan rongga glenoid dari skapla dan merupakan bagian dari banguan sendi bahu. Dibawahnya terdapat bagian yang lebih ramping disebut leher anatomik. Disebelah luar ujung atas dibawah leher anatomik terdapat sebuah benjolan, yaitu Tuberositas Mayor dan disebelah depan terdapat sebuah benjolan lebih kecil yaitu Tuberositas Minor. Diantara tuberositas terdapat celah bisipital (sulkus intertuberkularis) yang membuat tendon dari otot bisep. Dibawah tuberositas terdapat leher chirurgis yang mudah terjadi fraktur.
b)  Korpus
Sebelah atas berbentuk silinder tapi semakin kebawah semakin pipih. Disebelah lateral batang, tepat diatas pertengahan disebut tuberositas deltoideus (karena menerima insersi otot deltoid). Sebuah celah benjolan oblik melintasi sebelah belakang, batang, dari sebelah medial ke sebelah lateral dan memberi jalan kepada saraf radialis atau saraf muskulo-spiralis sehingga disebut celah spiralis atau radialis.
c)  Ujung Bawah
Berbentuk lebar dan agak pipih dimana permukaan bawah sendi dibentuk bersama tulang lengan bawah. Trokhlea yang terlatidak di sisi sebelah dalam berbentuk gelendong-benang tempat persendian dengan ulna dan disebelah luar etrdapat kapitulum yang bersendi dengan radius. Pada kedua sisi persendian ujung bawah humerus terdapat epikondil yaitu epikondil lateral dan medial. (Pearce, Evelyn C, 1997)
b.    Fungsi Tulang
1.    Memberi kekuatan pada kerangka tubuh.
2.    Tempat mlekatnya otot.
3.    Melindungi organ penting.
4.    Tempat pembuatan sel darah.
5.    Tempat penyimpanan garam mineral.
(Ignatavicius, Donna D, 1993)
3.    Etiologi
a.    Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b.    Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c.    Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan. (Oswari E, 1993)
4.    Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito, Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
a.    Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur
1)    Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
2)    Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang.( Ignatavicius, Donna D, 1995 )
b.    Biologi penyembuhan tulang
Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1)    Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 – 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2)    Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium initerjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum,dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3)    Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Sel–sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4)    Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5)    Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya. (Black, J.M, et al, 1993 dan Apley, A.Graham,1993)




c.    Pathway
d.    Komplikasi fraktur
1.    Komplikasi Awal
a)    Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

b)    Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat.
c)    Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
d)    Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e)    Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f)     Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2.    Komplikasi Dalam Waktu Lama
a)    Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karenn\a penurunan supai darah ke tulang.
b)    Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c)    Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. (Black, J.M, et al, 1993)
5.    Klasifikasi Fraktur
Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu:
a.    Berdasarkan sifat fraktur.
1)    Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
2)    Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
b.     Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur.
1)    Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2)    Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a)    Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
b)    Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c)    Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c.    Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1)    Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2)    Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3)    Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4)    Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain.
5)    Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d.    Berdasarkan jumlah garis patah.
1)    Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2)    Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3)    Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
e.    Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1)    Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum nasih utuh.
2)    Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a)    Dislokai ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping).
b)    Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c)    Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
3)    Fraktur Kelelahan, fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
4)    Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang.

Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
a.    Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.
b.    Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c.    Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d.    Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement. (Apley, A. Graham, 1993, Handerson, M.A, 1992, Black, J.M, 1995, Ignatavicius, Donna D, 1995, Oswari, E,1993, Mansjoer, Arif, et al, 2000, Price, Sylvia A, 1995, dan Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
6.    Dampak Masalah
Ditinjau dari anatomi dan patofisiologi diatas, masalah klien yang mungkin timbul terjadi merupakan respon terhadap klien terhadap enyakitnya. Akibat fraktur terrutama pada fraktur humerus akan menimbulkan dampak baik terhadap klien sendiri maupun keada keluarganya.
a.    Terhadap Klien
1)    Bio
Pada klien fraktur ini terjadi perubahan pada bagian tubuhnya yang terkena trauma, peningkatan metabolisme karena digunakan untuk penyembuhan tulang, terjadi perubahan asupan nutrisi melebihi kebutuhan biasanya terutama kalsium dan zat besi
2)    Psiko
Klien akan merasakan cemas yang diakibatkan oleh rasa nyeri dari fraktur, perubahan gaya hidup, kehilangan peran baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat, dampak dari hospitalisasi rawat inap dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru serta takutnya terjadi kecacatan pada dirinya.
3)    Sosio
Klien akan kehilangan perannya dalam keluarga dan dalam masyarakat karena harus menjalani perawatan yang waktunya tidak akan sebentar dan juga perasaan akan ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan seperti kebutuhannya sendiri seperti biasanya.
4)    Spiritual
Klien akan mengalami gangguan kebutuhan spiritual sesuai dengan keyakinannya baik dalam jumlah ataupun dalam beribadah yang diakibatkan karena rasa nyeri dan ketidakmampuannya.
b.    Terhadap Keluarga
Masalah yang timbul pada keluarga dengan salah satu anggota keluarganya terkena fraktur adalah timbulnya kecemasan akan keadaan klien, apakah nanti akan timbul kecacatan atau akan sembuh total. Koping yang tidak efektif bisa ditempuh keluarga, untuk itu peran perawat disini sangat vital dalam memberikan penjelasan terhadap keluarga. Selain tiu, keluarga harus bisa menanggung semua biaya perawatan dan operasi klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga.
Masalah-masalah diatas timbul saat klien masuk rumah sakit, sedang masalah juga bisa timbul saat klien pulang dan tentunya keluarga harus bisa merawat, memenuhi kebutuhan klien. Hal ini tentunya menambah beban bagi keluarga dan bisa menimbulkan konflik dalam keluarga.















BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN


Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1.    Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
a.    Pengumpulan Data
1)    Anamnesa
a)    Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)    Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
o   Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
o   Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
o   Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
o   Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
o   Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. (Ignatavicius, Donna D, 1995)
c)    Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
d)    Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang (Ignatavicius, Donna D, 1995).
e)    Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995).
f)     Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).
g)    Pola-Pola Fungsi Kesehatan
o   Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995).
o   Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
o   Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. (Keliat, Budi Anna, 1991)
o   Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 1999).
o   Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
o   Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995).
o   Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995).
o   Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995).

o   Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
o   Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif (Ignatavicius, Donna D, 1995).
o   Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien (Ignatavicius, Donna D, 1995).
2)    Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
a)    Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
Ø  Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
o   Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien.
o   Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
o   Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

Ø  Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
o   Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
o   Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
o   Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
o   Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
o   Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)
o   Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
o   Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
o   Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
o   Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
o   Paru
·         Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
·         Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
·         Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
·         Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
o   Jantung
·         Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
·         Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
·         Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
o   Abdomen
·         Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
·         Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
·         Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
·         Auskultasi
Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
o   Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
o   Sistem muskuloskeletal
Yang perlu dikaji pada sistem ini adalah :
Otot : inspeksi mengenai ukuran otot pada daerah fraktur yaitu adanya kelemahan, atropi karena tidak digunakan.
Amati otot dan tendon untuk mengetahui kemungkinan mengalami kontraktur.
Palpasi pada otot saat istirahat untuk mengetahui tonus otot. Palpasi otot pada saat bergerak secara aktif dan pasif untuk mengetahui adanya kelemahan (flasiditas) kekuatan otot dinilai dalam 5 tingkatan gradasi.
Skala
Kenormalan/
Kekuatan %
Ciri-ciri
0
1

2


3
4

5
0
10

25


50
75

100
Paralisis total.
Tidak ada gerakan teraba/terlihat adanya kontraksi otot.
Gerakan otot penuh menentang gravitasi dengan sokongan gerakan normal menentang gravitasi.
Gerakannya normal menentang gravitasi.
Gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan sedikit penahanan.
Gerakan normal penuh menentang gravitasi dengan tekanan penuh.
Tulang     : Kenormalan susunan tulang dan deformitas. Palpasi tulang adanya edema atau nyeri tekan
Persendian         : Palpasi adanya nyeri tekan, gerakan, bengkak, krepitasi, rentang gerak (range of motion).
b)    Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
Ø  Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
o   Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
o   Cape au lait spot (birth mark).
o   Fistulae.
o   Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
o   Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
o   Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
o   Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
Ø  Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah:
o   Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
o   Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.
o   Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
Ø  Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995)
3)    Pemeriksaan Diagnostik
a)    Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
Ø  Bayangan jaringan lunak.
Ø  Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
Ø  Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
Ø  Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
Ø  Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
Ø  Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
Ø  Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
Ø  Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b)    Pemeriksaan Laboratorium
Ø  Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
Ø  Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
Ø  Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c)    Pemeriksaan lain-lain
Ø  Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
Ø  Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
Ø  Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
Ø  Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.
Ø  Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
Ø  MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995)
c)    Analisa Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dikelompokkan dan dianaisa untuk menemukan masalah kesehatan klien. Untuk mengelompokkannya dibagi menjadi dua data yaitu, data sujektif dan data objektif, dan kemudian ditentukan masalah keperawatan yang timbul.


d)    Diagnosa
Diagnosa keperawatan adalah masalah kesehatan yang aktual atau potensial dimana perawat pendidikan dan pengalamannya mampu mengatasinya. Diagnosa keperawatan pada klien dengan fraktur sebagai berikut :
·         Resiko tinggi terhadap trauma tambahan berhubungan dengan fraktur (kehilangan integritas tulang).
·         Nyeri berhubungan dengan otot, pergerakan fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan lunak, alat traksi/imobilisasi, stress, ansietas.
·         Resiko tinggi terhadap disfungsi perifer berhubungan dengan penurunan/interupsi aliran darah, cedera vaskuler langsung, edema berlebihan, pembentukan trombus, hipovolemia.
·         Resiko tinggi terhadap gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah/emboli lemak, perubahan membran alveolar/kapiler.
·         Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri/ketidaknyamanan.
·         Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan cedera tusuk, fraktur terbuka, bedah perbaikan, pemasangan traksi, pen, kawat, sekrup dan mobilisasi.
·         Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ; kerusakan kulit, trauma jaringan, prosedur invasif, traksi tulang.
·         Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah informasi/tidak mengenal sumber informasi.
·         Gangguan pemenuhan ADL (Activity Daily Living) berhubungan dengan immobilisasi.
·         Gangguan konsep diri (body image) berhubungan dengan fraktur ; tindakan traksi.
·         Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
e)    Perencanaan
Setelah merumuskan diagnosa keperawatan, maka intervensi dan aktivitas keperawatan perlu ditetapkan untuk mengurangi, menghilangkan dan mencegah masalah keperawatan klien, maka langkah selanjutnya adalah memenuhi kebutuhan tersebut melalui suatu perencanaan yang baik.
Ø  Resiko tinggi terhadap trauma tambahan berhubungan dengan fraktur.
o   Tujuan :
·         Mempertahankan stabilisasi dan posisi fraktur.
·         Menunjukkan mekanika tubuh yang meningkatkan stabilitas pada sisi fraktur.
·         Menunjukkan pembentukan kalus/mulai penyatuan fraktur dengan tepat.
o   Tindakan/intervensi :
·         Pertahankan tirah baring/ekstremitas sesuai indikasi. Berikan sokongan sendi di atas dan di bawah fraktur.
Rasional : Meningkatkan stabilitas, menurunkan kemungkinan gangguan posisi/penyembuhan.
·         Letakkan papan di bawah tempat tidur atau tempatkan pasien pada tempat tidur ortopedik
Rasional : Tempat tidur empuk atau lentur dapat membuat deformasi gips yang masih basah, mematahkan gips yang sudah kering atau mempengaruhi dengan penarikan traksi.
·         Sokong fraktur dengan bantal/gulungan selimut, pertahankan posisi netral pada bagian yang sakit dengan bantal pasir, pembebat, gulungan tronkanter, papan kaki.
Rasional : Mencegah gerakan yang tak perlu dan perubahan posisi-posisi yang tepat dari bantal dan juga dapat mencegah tekanan deformitas pada gips yang kering.
·         Pertahankan posisi/integritas traksi.
Rasional : Traksi memungkinkan tarikan pada aksis panjang fraktur tulang dan mengatasi tegangan otot/ pemendekan untuk memudahkan posisi/penyatuan.
·         Pertahankan katrol tidak terhambat dengan beban bebas menggantung ; hindari mengangkat/menghilangkan berat.
Rasional : Jumlah beban traksi optimal dipertahankan, catatan memasukkan gerakan bebas beban selama mengganti posisi pasien menghindari penarikan berlebihan tiba-tiba pada fraktur yang menimbulkan nyeri dan spasme otot.
·         Kaji ulang tahanan yang mungkin timbul karena terapi.
Contoh pergelangan tidak menekuk/duduk dengan traksi buck atau tidak memutar di bawah pergelangan dengan traksi Russel.
Rasional : Mempertahankan integritas tarikan traksi sehingga traksi berfungsi tepat untuk menghindari interupsi penyambungan fraktur.
·         Kaji ulang foto/evaluasi.
Rasional        :           Memberikan bukti visual mulainya pembentukan kalus/proses penyembuhan untuk menentukan tingkat aktivitas dan kebutuhan perubahan/tambahan terapi.
Ø  Nyeri berhubungan dengan otot, gerakan fragmen tulang, alat traksi.
o   Tujuan :
·         Menyatakan nyeri hilang.
·         Menunjukkan tindakan santai ; mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/istirahat dengan cepat.
·         Menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi.
o   Intervensi :
·         Pertahankan immobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring gips, pembebat, traksi.
Rasional        :           Menghilangkan nyeri dan mencegah kesalahan posisi tulang/tegangan jaringan yang cedera.
·         Tinggikan dan dukung ekstremitas yang terkena.
Rasional        : Meningkatkan aliran balik vena, menurunkan edema, menurunkan nyeri.
·         Lakukan dan awasi latihan rentang gerak pasif/aktif.
Rasional        : Mempertahankan kekuatan/mobilitas otot yang sakit dan memudahkan resolusi inflamasi pada jaringan yang cedera.
·         Berikan alternatif tindakan kenyamanan, contoh perubahan posisi.
Rasional        : Meningkatkan sirkulasi umum ; menurunkan area tekanan lokal dan kelelahan otot.
·         Berikan obat sesuai indikasi narkotik dan analgetik non narkotik.
Rasional        : Menghambat reseptor nyeri dan menurunkan ambang nyeri atau spasme otot.
Ø  Resiko tinggi terhadap disfungsi neurovaskuler perifer.
o   Tujuan :
·         Mempertahankan perfusi jaringan.
o   Intervensi :
·         Kaji aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan distal pada fraktur.
Rasional        :           Kembalinya warna cepat (3 – 5 detik), warna kulit putih menunjukkan gangguan arterial, sianosis diduga ada gangguan vena.
·         Lakukan pengkajian neuromuskuler, perhatikan fungsi motorik/sensori.
Rasional        : Gangguan perasaan bebas, kesemutan, peningkatan/ penyebaran nyeri terjadi bila sirkulasi syaraf tidak adekuat atau syaraf rusak.
·         Tes sensasi syaraf perifer dengan menusuk pada kedua selaput antara ibu jari pertama dan kedua dan kaji kemampuan untuk dorsofleksi ibu jari bila diindikasikan.
Rasional        : Panjang dan posisi syaraf parineal meningkatkan resiko cedera pada adanya fraktur kaki, edema/sindrom kompartement, atau melapisi alat traksi.
·         Kaji keseluruhan panjang ekstremitas yang cedera untuk pembengkakan/pembentukan edema. Ukur ekstremitas yang cedera dan bandingkan dengan yang tak cedera.
Rasional        : Peningkatan lingkar ekstremitas yang cedera dapat diduga ada pembengkakan jaringan/edema umum tetapi menunjukkan perdarahan.
·         Awasi tanda vital, perhatikan tanda-tanda pucat, cyanosis, kulit dingin.
Rasional        : Ketidakadekuatan volume sirkulasi akan mempengaruhi sistem perfusi jaringan.
·         Berikan kompres es sekitar fraktur sesuai indikasi.
Rasional        : Menurunkan edema/pembentukan hematoma yang dapat mengganggu sirkulasi.
·         Awasi hemoglobin/hematokrit, pemeriksaan koagulasi.
Rasional        : Membantu dalam kalkulasi kehilangan darah dan membutuhkan keefektifan terapi penggantian.

Ø  Resiko tinggi terhadap gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan aliran darah/emboli lemak.
o   Tujuan :
·         Mempertahankan fungsi pernafasan yang adekuat.
o   Intervensi :
·         Awasi frekuensi pernafasan.
Rasional        :           Takipnea, dispnea dan insufisiensi pernafasan.
·         Auskultasi bunyi nafas perhatikan terjadinya ketidaksamaan bunyi hiperesonan, juga adanya gemericik, ronchi, mengi, dan inspeksi mengorok/sesak nafas.
Rasional        :           Perubahan dalam/adanya bunyi adventisius menunjukkan terjadinya komplikasi pernafasan.
·         Observasi sputum untuk tanda adanya darah.
Rasional        :           Hemodialisa dapat terjadi dengan emboli paru.
·         Inspeksi kulit untuk petekie di atas garis puting pada aksilla meluas ke abdomen/tubuh, mukosa mulut kantong konjungtiva dan retina.
Rasional        :           Ini adalah karakteristik yang paling nyata dari tanda emboli lemak,. Yang tampak dalam 2 – 3 hari setelah cedera.
·         Berikan tambahan oksigen bila diindikasikan.
Rasional        :           Meningkatkan sediaan O2 untuk oksigenasi optimal jaringan.
·         Berikan obat sesuai indikasi, heparin dosis rendah.
Rasional        :           Blok siklus pembekuan dan mencegah bertambahnya pembekuan pada adanya tromboplebitis.

Ø  Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri/ ketidaknyamanan.
o   Tujuan
·         Meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin mempertahankan posisi fungsional.
o   Intervensi
·         Kaji derajat imobilitas fisik yang dihasilkan oleh cedera/pengobatan dan perhatikan persepsi pasien terhadap mobilitas.
Rasional        :Pasien mungkin dibatasi oleh pandangan/persepsi diri tentang keterbatasan fisik aktual memerlukan intervensi/informasi untuk meningkatkan kemajuan kesehatan.
·         Dorong penggunaan latihan isometrik mulai dengan tungkai yang tidak sakit.
Rasional        : kontraksi otot isometrik tanpa menekuk sendi atau menggerakkan tungkai dan membantu mempertahankan kekuatan massa otot.
·         Tempatkan dalam posisi terlentang secara periodik bila mungkin, bila traksi digunakan untuk menstabilkan fraktur tungkai bawah.
Rasional        : Menurunkan resiko kontraksi fleksi pinggul.
·         Berikan/bantu dalam mobilisasi dengan kursi roda, kruk tongkat, sesegera mungkin, instruksikan keamanan dalam menggunakan alat mobilitas.
Rasional        : Mobilisasi dini merupakan komplikasi tirah baring/contoh decubitus.
·         Berikan diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin dan mineral, pertahankan penurunan kandungan protein sampai setelah defekasi pertama.
Rasional        : pada cedera muskuloskeletal, nutrisi yang diperlukan untuk penyembuhan berkurang dengan cepat. Sering mengakibatkan penurunan berat badan, selama traksi tulang ini dapat mempengaruhi massa otot, tonus dan kekuatan.
·         Konsul dengan ahli terapi fisik/okupasi dan atau rehabiltasi spesialis.
Rasional        :           Untuk membuat aktivitas individual/program latihan pasien dapat memerlukan bantuan jangka panjang dengan gerakan, kekuatan dan aktivitas yang mengandalkan berat badan.
Ø  Kerusakan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka.
o   Tujuan
Mencapai penyembuhan luka sesuai waktu.
o   Intervensi
·         Kaji kulit untuk luka terbuka, benda asing, kemerahan, perdarahan, perubahan warna.
Rasional        :           Berikan informasi tentang sirkulasi kulit dan masalah yang mungkin disebabkan oleh alat dan atau pemasangan gips/beban/traksi.
·         Ubah posisi dengan sering, dorong penggunaan trapeze bila mungkin.
Rasional        :           Untuk mengurangi tekanan pada area yang sama dan meminimalkan resiko kerusakan kulit, penggunaan trapeze dapat menurunkan abrasi pada siku/tumit.
·         Bersihkan kelebihan plester dari kulit saat masih basah, bila mungkin.
Rasional        :           Plester yang kering dapat melekat ke dalam gips yang telah lengkap menyebabkan kerusakan kulit.
·         Gunakan plester traksu kulit dengan memanjang pada posisi tungkai yang sakit.
Rasional        :           Plester traksi melingkari tungkai dapat mempengaruhi pada sirkulasi.
·         Letakkan bantalan pelindung di bawah kaki dan di atas tonjolan tulang.
Rasional        :           meminimalkan tekanan pada area ini.
Ø  Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan primer ; kerusakan kulit, , prosedur invasif, traksi tulang.
o   Tujuan
Mencegah terjadinya infeksi untuk mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam.
o   Intervensi
·         Infeksi kulit akibat adanya iritasi atau robekan kontinuitas jaringan.
Rasional        : Pen atau kawat tidak harus dimasukkan melalui kulit yang terinfeksi, kemerahan atau abrasi.
·         Berikan perawatan pen/kawat steril sesuai protokol dan latihan mencuci tangan.
Rasional        : Dapat mencegah kontaminasi silang dan kemungkinan terjadinya infeksi silang.
·         Observasi luka untuk pembentukan bula, krepitasi perubahan warna kulit kecoklatan, bau drainage yang tak sedap atau asam.
Rasional        :Tanda perkiraan infeksi gas gangren.
·         Selidiki nyeri tiba-tiba/keterbatasan gerakan dengan edema lokal/eritema ekstremitas cedera.
Rasional        : Dapat mengidentifikasikan adanya osteomielitis.
·         Berikan obat sesuai indikasi, contoh antibiotik IV/topikal.
Rasional        : Antibiotik spektrum luas dapat digunakan secara profilaktik atau dapat ditujukan pada mikroorganisme.
·         Berikan irigasi luka sesuai indikasi yang ada.
Rasional        : Debridemen luka menurunkan mikroorganisme dan insiden infeksi sistemik.
Ø  Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis, dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan salah informasi.
o   Tujuan
Menyatakan pemahaman kondisi, prognosis dan pengobatan.
o   Intervensi
·         Kaji ulang patologi, prognosis dan harapan yang akan datang.
Rasional        :           Memberikan dasar pengetahuan dimana pasien dapat membuat pilihan informasi. Catatan : fiksasi internal dapat mempengaruhi kekuatan tulang dan intramedulla atau piringan mungkin diangkat beberapa hari kemudian.
·         Beri penguatan metode mobilitas dan ambulasi sesuai instruksi dengan terapis fisik bila diindikasikan.
Rasional        :           Banyak fraktur memerlukan gips, bebat atau penjepit selama proses perlambatan penyembuhan dapat terjadi sekunder terhadap ketidaktepatan penggunaan alat ambulasi.
·         Buat daftar aktivitas di mana pasien dapat melakukannya secara mandiri dan yang memerlukan bantuan.
Rasional        :           Penyusunan aktivitas sekitar kebutuhan yang dapat bantuan.
·         Dorong pasien untuk melanjutkan latihan aktif untuk sendi di atas dan di bawah fraktur.
Rasional        :           Mencegah kekakuan sendi, kontraktur dan kelelahan otot meningkatkan kembalinya aktivitas sehari-hari.
·         Kaji ulang perawatan pen/luka yang tepat.
Rasional        :           Menurunkan resiko trauma tulang/jaringan dan infeksi yang dapat berlanjut menjadi ostemielitis.
·         Identifikasi tanda dan gejala yang memerlukan evaluasi medik, contoh : nyeri berat, demam tinggi, bau tak enak.
Rasional        :           Intervensi cepat menurunkan beratnya komplikasi seperti infeksi/gangguan sirkulasi.
Ø  Gangguan pemenuhan ADL (Activity Daily Living) berhubungan dengan immobilisasi.
o   Tujuan
Kebutuhan rawat diri terpenuhi.
o   Intervensi
·         Kaji tingkat kemampuan klien dalam merawat dirinya.
Rasional        :           Mengetahui sejauh mana kemampuan klien dalam merawat dirinya.
·         Bantu klien memenuhi kebutuhan sehari-harinya dan anjurkan klien agar dapat mengerjakan sebanyak mungkin untuk dirinya (memandikan klien).
Rasional        :           Perawatan ini membantu memelihara harga diri dan kembali untuk hidup tanpa tergantung kepada orang lain.
·         Sediakan waktu klien dalam melakukan aktivitas dengan segenap kemampuannya.
Rasional        :           Mengurangi frustasi yang sering menyertai kesulitan yang dihadapi bila belajar.
·         Berikan pujian terhadap kemampuan yang dicapai oleh klien dalam menolong dirinya.
Rasional        :           Untuk memotivasi agar mematuhi program rehabilitasi secara kontinyu.
Ø  Gangguan konsep diri (body image) berhubungan dengan fraktur ; tindakan traksi.
o   Tujuan
Klien dapat melakukan interaksi dengan orang lain tanpa merasa rendah diri.
o   Intervensi
·         Kaji derajat dukungan yang ada untuk pasien.
Rasional        :           Dukungan yang cukup dari orang terdekat dan teman dapat membantu proses rehabilitasi.
·         Diskusikan persepsi pasien tentang diri dan hubungannya dengan perubahan dan bagaimana pasien melihat dirinya dalam pola/peran fungsi yang biasanya.
Rasional        :           Membantu mengartikan masalah sehubungan dengan pola hidup sebelumnya dan membantu pemecahan masalah.
·         Perhatikan prilaku menarik diri, membicarakan diri tentang hal negatif, penggunaan penyangkalan atau terus menerus melihat perubahan nyata/yang diterima.
Rasional        :           Dibutuhkan pada masalah ini untuk membantu adaptasi lanjut yang optimal dan rehabilitasi.


Ø  Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.
o   Tujuan
Mewujudkan kemampuan untuk mengatasi masalah.
o   Intervensi
·         Berikan informasi akurat dan konsisten mengenai prognosis.
Rasional        :           Dapat mengurangi kecemasan dan ketidakmampuan pasien untuk membuat keputusan/pilihan berdasarkan realita.
·         Berikan lingkungan terbuka di mana pasien akan merasa aman untuk mendiskusikan perasaan atau menahan diri untuk berbicara.
Rasional        :           Membantu pasien untuk merasa diterima pada kondisi sekarang tanpa perasaan dihakimi dan meningkatkan perasaan harga diri dan kontrol.
·         Berikan informasi yang dapat dipercaya dan konsisten, juga dukungan untuk orang terdekat.
Rasional        :           menciptakan interaksi interpersonal yang lebih baik dan menurunkan ansietas dan rasa takut.
·         Libatkan orang terdekat sesuai petunjuk pada pengambilan keputusan bersifat mayor.
Rasional        :           Menjamin adanya sistem pendamping bagi pasien dan memberikan kesempatan orang terdekat untuk berpartisipasi dalam kehidupan pasien.





f)     Pelaksanaan
Pelaksanaan adalah perwujudan dari rencana keperawatan yang meliputi tindakan-tindakan yang direncakan oleh perawat. Dalam melaksanakan proses keperawatan harus kerjasama dengan tim kesehatan-kesehatan yang lain keluarga klien dan dengan klien sendiri, yang meliputi 3 hal :
Ø  Melaksanakan tindakan keperawatan dengan memperhatikan kode etik dengan standar praktek dan sumber-sumber yang ada.
Ø  Mengidentifikasi respon klien.
Ø  Mendokumentasikan/mengevaluasi pelaksanaan tindakan keperawatan dan respon pasien.
Faktor-faktor yang perlu diperhatikan :
Ø  Kebutuhan klien.
Ø  Dasar dari tindakan.
Ø  Kemampuan perseorangan dan keahlian/keterampilan dari perawat.
Ø  Sumber-sumber dari keluarga dan klien sendiri.
Ø  Sumber-sumber dari instansi.
g)     Evaluasi.
Evaluasi adalah merupakan pengukuran dari keberhasilan rencana keperawatan dalam memenuhi kebutuhan klien. tahap evaluasi merupakan kunci keberhasilan dalam menggunakan proses keperawatan.
Adapun evaluasi klien dengan fraktur dilakukan berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya dan asuhan keperawatan dikatakan berhasil apabila dalam evaluasi terlihat pencapaian kriteria tujuan perencanaan yang diberikan pada klien dengan gangguan sistem muskuloskeletal dengan fraktur.





BAB IV
KESIMPULAN


Fraktur humerus adalah hilangnya kontinuitas tulang , tulang rawan sendi,tulang rawan epifisial baik yang bersifat total maupun parsial pada tulanghumerus.
Etiologi fraktur humerus umumnya merupakan akibat trauma. Selain dapat menimbulkan patah tulang (fraktur), trauma juga dapat mengenai jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Mekanisme trauma sangat penting dalam mengetahui luasdan tingkat kerusakan jaringan tulang serta jaringan lunak sekitarnya.
Diagnosis fraktur humerus dapat dibuat berdasarkan anamnesis yang baik,pemeriksaan fisik dan pemeriksaan radiologis.
Penatalaksanaan penderita fraktur humerus harus dilakukan secara cepatdan tepat untuk mencegah komplikasi segera, dini, dan lambat.

















DAFTAR   PUSTAKA


Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta, 1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta, 1999.
Dudley, Hugh AF, Ilmu Bedah Gawat Darurat, Edisi II, FKUGM, 1986.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Sistem Kesehatan Nasional, Jakarta, 1991.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Hudak and Gallo, Keperawatan Kritis, Volume I EGC, Jakarta, 1994.
Ignatavicius, Donna D, Medical Surgical Nursing : A Nursing Process Approach, W.B. Saunder Company, 1995.
Keliat, Budi Anna, Proses Perawatan, EGC, Jakarta, 1994.
Long, Barbara C, Perawatan Medikal Bedah, Edisi 3 EGC, Jakarta, 1996.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI, Jakarta, 2000.
Oswari, E, Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.
Reksoprodjo, Soelarto, Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah FKUI/RSCM, Binarupa Aksara, Jakarta, 1995.
Tucker, Susan Martin, Standar Perawatan Pasien, EGC, Jakarta, 1998.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar