BAB I
PENDAHULUAN
Paralisis Bell atau Bell’s
palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik) dan bersifat akut. Banyak yang
mencampuradukkan antara Bell’s palsy dengan paresis nervus fasialis perifer
lainnya yang penyebabnya diketahui.
Biasanya penderita
mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga atau pada saat
bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita menyadari bahwa ia
mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai merasa takut, malu, rendah
diri, mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada wanita
dan pada penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk tampil di
muka umum. Seringkali timbul pertanyaan didalam hatinya, apakah wajahnya bisa
kembali secara normal atau tidak.
Di Indonesia, insiden
Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah
Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari
seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita dari pada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara
iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya
riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.
Rehabilitasi medik pada
penderita Bell’s palsy diperlukan dengan tujuan membantu memperlancar
vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan mengembalikan fungsi
yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis sehingga penderita dapat
kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan bersosialisasi dengan
masyarakat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. TINJAUAN
TEORITIS
1.
DEFINISI
Bell’s
palsy adalah kelumpuhan fasialis
perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer
namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen
stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut
dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Facial palsy atau kelumpuhan saraf fasial merupakan
gejala kelumpuhan otot – otot wajah yang tampak pada waktu penderita berbicara
dan dalam keadaan emosi. (Soepardi,dkk. 2003)
Facial Palsy adalah suatu kelainan, kongenital
maupun didapat, yang menyebabkan paralisis seluruh ataupun sebagian pada
pergerakan wajah. Aksi gerakan pada wajah dimulai dari otak dan berjalan
melalui saraf facialis menuju otot-otot di wajah. Otot-otot ini selanjutnya
berkontraksi sebagai respon terhadap stimulus. Di dalam tengkorak kepala, saraf
facialis adalah suatu saraf tunggal. Setelah keluar dari tengkorak kepala,
bercabang menjadi banyak cabang yang menuju ke berbagai otot pada wajah.
Otot-otot ini mengendalikan ekspresi wajah. Aktivitas yang terkoordisnasi dari
saraf dan otot-otot menyebabkan pergerakan seperti tersenyum, mengedip,
menyimak, dan cakupan penuh dari pergerakan wajah normal. Penyakit ataupun
cedera yang menyerang otak, nervus facialis ataupun otot-otot pada wajah dapat
menyebabkan facial palsy
Facial palsy disebut juga dengan paresis. Paresis menunjukkan suatu kelemahan dalam pergerakan wajah. Palsy biasanya digunakan pada berkurangnya pergerakan sampai hilang sama sekali. (Iwantono, 2008)
Facial palsy disebut juga dengan paresis. Paresis menunjukkan suatu kelemahan dalam pergerakan wajah. Palsy biasanya digunakan pada berkurangnya pergerakan sampai hilang sama sekali. (Iwantono, 2008)
Facial palsy adalah paralisis wajah karena
keterlibatan perifer saraf kranial yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis
otot wajah (Brunner & Suddarth, 2002).
2.
ETIOLOGI
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis
bisa disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan
pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu.
a. Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir
(kongenital) bersifat irreversible dan terdapat bersamaan dengan anomaly pada
telinga dan tulang pendengaran. Pada kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat
terjadi karena adanyagangguan perkembangan saraf fasialis dan seringkali
bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).
b. Infeksi
Proses infeksi di intraKranial atau
infeksi telinga tengah dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi
intracranial yangmenyebabkan kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt,
Herpesotikus. Infeksi Telinga tengah yang dapat menimbulkan kelumpuhan
saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik (OMSK ) yang telah
merusak Kanal Fallopi.
c. Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang
temporal merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Biasanya berasal
dari tumor payudara, paru-paru,dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran
langsung dari tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun
jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir dari saraf fasialis
yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat kelumpuhan. Pada kasusyang
sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat mengganggu
fungsi motorik saraf fasialis secara ipsilateral.
d. Trauma
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi
karena trauma kepala, terutama jika terjadi fraktur basis cranii, khususnya
bila terjadi fraktur longitudinal.Selain itu luka tusuk, luka tembak serta
penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab. Saraf fasialis pun
dapat cedera pada operasimastoid, operasi neuroma akustik/neuralgia trigeminal
dan operasikelenjar parotis.
e. Gangguan
Pembuluh Darah
Gangguan pembuluh darah yang dapat
menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis diantaranya thrombosis arteri
karotis, arteri maksilaris dan arteriserebri media.
f.
Idiopatik (Bell’s Palsy)
Parese Bell
merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell
terjadiedema fasialis. Karena terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan
kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy
g. Penyakit-penyakit
tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat
terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,misalnya DM, hepertensi berat, anestesi
lokal pada pencabutan gigi,infeksi telinga tengah, sindrom Guillian
Barre.Bell’s palsy dapat terjadi pada pria atau wanita segala usia dan
disebabkanoleh kerusakan saraf fasialis yang disebabkan oleh radang, penekanan
atau pembengkakan. Penyebab kerusakan ini tidak diketahui dengan pasti,
kendatidemikian para ahli meyakini infeksi virus Herpes Simpleks sebagai
penyebabnya.Sehingga terjadi proses radang dan pembengkakan saraf. Pada kasus
yang ringan,kerusakan yang terjadi hanya pada selubung saraf saja sehingga
proses penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada kasus yang lebih berat
dapat terjadi jeratan pada kanalis falopia yang dapat menyebabkan
kerusakan permanen serabutsaraf.Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan
BP antara lain: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat
terbuka, tidur di lantai,hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes
mellitus, penyakit vaskuler,gangguan imunologik dan faktor genetik.
3.
GAMBARAN KLINIS
Biasanya
timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah satu
sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat gigi/berkumur
atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih
rendah. Bell’s palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa
hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang
terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan
menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari
sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar
serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya
maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka (disebut lagoftalmus)
dan bola mata berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell
(lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata yang berkurang
maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora.
Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak
mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi
dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak
didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat
“Bell’s palsy”.
4.
PATOFISIOLOGI
Paralisis
bell dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralisis tekanan. Inflamasi dan
edema saraf pada titik kerusakan atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik
yang menyebabkan nekrosis iskemik dalam kanal yang sangat sempit, ada kelainan
wajah berupa paralisis otot wajah, peningkatan lakrimasi (air mata) sensasi
nyeri pada wajah, belakang telinga dan terdapat kesulitan bicara pada sisi yang
terkena karena kelemahan atau otot wajah, pada kebanyakan klien, yang pertama
kali mengetahui paresis pasialis adalah teman sekantor atau orang terdekat atau
keluarganya.
Pada
observasi dapat terlihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih
lambat jika dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, lipatan nasolabial
pada sisi kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada
sisi yang lumpuh tidak mengembung. Saat mencibir, gerakan bibir tersebut
menyimpang ke sisi yang tidak sehat. Jika klien diminta
untuk memperlihatkan gigi geliginya atau diminta meringis, sudut mulut
sisi yang lumpuh tidak terangkat, sehingga mulut tampaknya mencong kearah yang
sehat. Setelah paralisis fasialis perifer sembuh, masih sering terdapat gejala
sisa, pada umumnya gejala itu merupakan proses regenerasi yang salah, sehingga
timbul gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakan otot kelompok lain,
gerakan yang mengikuti gerakan otot kelompok lain itu disebut sinkinetik.
Adapun gerakan sinkinetik adalah ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata
ditutup dan fisura palpebra sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu
rahang bawah ditarik keatas atau kebawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah.
Dalam hal ini, diluar serangan spasme fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh
tampak lebih tinggi kedudukannya daripada sisi yang sehat. Oleh karena itu,
banyak kekeliruan mengenai sisi yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama
jika klien yang pernah mengalami stroke.
Saraf
otak yang paling sering rusak atau putus karena trauma kapitis adalah
saraf olfaktorius, kemudian saraf fasialis, lesi traumatis tersebut hampir
selamanya mengenai kanalis fasialis, yaitu fraktur tulang temporal yang tidak
selalu dapat diperlihatkan oleh foto rontgen. Perdarahan dan likuor mengiringi
paresis fasiali sperifer traumatis, dengan auroskopi dapat dilihat adanya
hematotimpani dengan atau tanpa terobeknya membrane timpani.
Pada
leukemia, paresis pasialis biasanya timbul setelah klien mengeluh tentang lesu
letih dan demam yang bersifat hilang timbul dengan masa bebas demam selama
beberapa minggu. Gejala-gejala dini tersebut sering berlangsung lama sebelum,
leukemia diketahui, setelah pemeriksaan darah, leukemia dapat diidentifikasi.
Gejala-gejala yang mempercepat dilakukannya pemeriksaan darah adalah
pendarahan, pembengkakan kelenjar-kelenjar limfa dan splenohepato-megalia.
Infiltrasi dan perdarahan dapat terjadi disusunan saraf dan tulang tengkorak.
Pada
karsinoma nasofarings paresis fasialis jarang menjadi manifestasi dini. Oleh karena
lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan
tuli konduktif dengan keluhan. Perluasan infiltrative karsinoma nasofaring berikutnya
membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan nafas melalui hidung.
Setelah itu, maka pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan
kelumpuhan otot mata luar (paralisis ocular). Tumor intracranial yang paling
sering menimbulkan paresis fasialis ialah tumor di sudut serebelopontin, yaitu
neurinoma akustikus, gejala dini tumor tersebut adalah tuli satu sisi yang
bersifat tuli persetif yang hampir selalu disertai tinnitus dan gangguan
vesribular, kemudian timbul gejala akibat gangguan terhadap traktus desendens
saraf trigeminus yang dapat berupa hemihipestesia ipsilateral.
5.
PATHWAY/PENYIMPANGAN KDM
6.
KOMPLIKASI
a. Crocodile
tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat
penderita makan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan
terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang
seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi
di sekitar ganglion genikulatum.
b. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat
digerakkan satu per satu atau tersendiri; selalu timbul gerakan bersama. Misal
bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter)
elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya
adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung
dengan serabut-serabut otot yang salah.
c. Hemifacial
spasm
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah
bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah,
biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi
kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat
memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna,
yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
d. Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya
otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh
dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat.
Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas
saat otot wajah bergerak.
7.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Umumnya
diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan nervus
fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dan
kelumpuhan nervus fasialis perifer.
Beberapa
pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat
kerusakan nervus fasialis :
a.
Uji kepekaan
saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi
otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan
rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA
menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel.
b.
Uji konduksi
saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat
denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri
dan kanan.
c.
Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.
d.
Uji fungsi
pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan
pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa
asin dan rasa pahit (pil kina).
Elektrogustometri membandingkan reaksi
antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian
depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP
menunjukkan letak lesi nervus fasialis setinggi khorda timpani atau
proksimalnya.
e.
Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas
filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan
kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter berkurang
atau mengeringnya air mati menunjukkan lesi nervus fasialis setinggi gelombang genikulatum.
8.
PENATALAKSANAAN
a.
Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot
wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan
bahwa keadaan yang tejadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5
minggu pada kebanyakan klien.
Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan
radang dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan
memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi
kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semain berat, mengurangi
nyeri dan membantu mencegah atau meminimalkan denervasi.
Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik. Kompres panas pada sisi
wajah yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah
sampai ke otot tersebut.
Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah
menjadi atrofi. Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif,
namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien yang
cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui pembedahan
untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.
B. ASUHAN
KEPERAWATAN
a.
Pengkajian
Pengkajian keperawatan
klien dengan Bell’s palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.
·
Anamnesis
Keluhan utama yang sering
menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan dalah berhubungan dengan
kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
·
Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit
sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien. Disini
harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai
serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy
biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini
melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahinya
hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua
matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi
bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut
dikenal sebagai tanda bell.
·
Riwayat penyakit sebelumnya
Pengkajian penyakit yang
pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi
predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit
iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit
virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua
faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien,
pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian
dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih
jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.
·
Pengkajian
psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien
Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk
memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kogniti dan perilaku
klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk
menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping
yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan
klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan
perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus
menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi
klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak
sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan
dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu.
Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu
keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan
peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada
gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.
·
Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis
yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna
untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya
dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3
(brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.
Pada klien Bell’s palsy
biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
·
B1 (breathing)
Bila tidak ada penyakit
lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak batuk, tidak
sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan
dalam batas normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri.
Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak
didengar bunyi napas tambahan.
·
B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit
lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama yang normal. TD
dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
·
B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain)
merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada
sistem lainnya.
o Tingkat kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya
kesadaran klien compos mentis.
o Fungsi serebri
Status mental : observasi
penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi
ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya
statul mental klien mengalami perubahan.
o Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I
: biasanya
pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada
kelainan.
Saraf II
: tes
ketajaman penglihatan pada kondisi normal
Saraf III, IV, VI :
penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
Saraf V
: kelumpuhan
seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar,
adanya gerakan sinkinetik.
Saraf VII
:
berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis
ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana
khorda timpani menggabungkan diri padanya.
Saraf VIII
: tidak
ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX & X
: paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan menelan.
Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI
: tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan
mobilisasi leher baik.
Saraf XII
: lidah
simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra
pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan
kurang tajam.
o Sistem motorik
Bila tidak melibatkan
disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan
koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.
o Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam,
pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons
normal.
o Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya
tremor, kejang dan distonia. Pada beberapa keadaan sering ditemukan Tic
fasialis.
o Sistem sensorik
Kemampuan penilaian
sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan.
·
B4 (Blader)
Pemeriksaan pada sistem
perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal ini
berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
·
B5 (bowel)
Mulai sampai muntah
dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada
klien bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah
serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
·
B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan
penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
b.
Diagnosa Keperawatan
1. Perfusi
jaringan cerebral tidak efektif b/d gangguan aliran arteri dan vena
2. Gangguan
body image berhubungan dengan krisis situasional
3. Gangguan mobilitas
fisik Berhubungan Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler
BAB III
KESIMPULAN
Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis
atau kelumpuhanyang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis
perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat
penekanan (kompresi) pada nervusfasialis.
Kelumpuhan
perifer Nervus VII memberikan ciri yang khas hingga dapatdidiagnosa dengan
inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.Lipatan-lipatan di
dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong
tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung
dari lokalisasi kerusakan.
DAFTAR PUSTAKA
Djamil
Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta
neurologi;Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2003.
Johnson Marion PhD, RN, Maas Meridean, PhD,
RN, Faan Sue mooerhead, PhD,RN.1995. Nursing Outcomes Classifocation ( NOC ) .
Printed in the UnitedStates of America.
Muttaqin
,Arif .2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan
System Persarafan. Salemba Medika:Jakarta
McCloskey Joanne C,PhD, RN,Faan dan Gloria M.
Bulechek, PhD, RN. 1996. Nursing Intervention Classification ( NIC). Printed in
the United States of America.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar