Rabu, 06 Agustus 2014

Paralisis Bell atau Bell’s palsy



BAB I
PENDAHULUAN


Paralisis Bell atau Bell’s palsy merupakan paresis nervus fasialis perifer yang penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) dan bersifat akut. Banyak yang mencampuradukkan antara Bell’s palsy dengan paresis nervus fasialis perifer lainnya yang penyebabnya diketahui.
Biasanya penderita mengetahui kelumpuhan fasialis dari teman atau keluarga atau pada saat bercermin atau sikat gigi/berkumur. Pada saat penderita menyadari bahwa ia mengalami kelumpuhan pada wajahnya, maka ia mulai merasa takut, malu, rendah diri, mengganggu kosmetik dan kadangkala jiwanya tertekan terutama pada wanita dan pada penderita yang mempunyai profesi yang mengharuskan ia untuk tampil di muka umum. Seringkali timbul pertanyaan didalam hatinya, apakah wajahnya bisa kembali secara normal atau tidak.
Di Indonesia, insiden Bell’s palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bell’s palsy sebesar 19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 – 30 tahun. Lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara dingin atau angin berlebihan.
Rehabilitasi medik pada penderita Bell’s palsy diperlukan dengan tujuan membantu memperlancar vaskularisasi, pemulihan kekuatan otot-otot fasialis dan mengembalikan fungsi yang terganggu akibat kelemahan otot-otot fasialis sehingga penderita dapat kembali melakukan aktivitas kerja sehari-hari dan bersosialisasi dengan masyarakat.







BAB II
PEMBAHASAN

A.     TINJAUAN TEORITIS
1.     DEFINISI
Bell’s palsy adalah kelumpuhan fasialis perifer akibat proses non-supuratif, non-neoplasmatik, non-degeneratif primer namun sangat mungkin akibat edema jinak pada bagian nervus fasialis di foramen stilomastoideus atau sedikit proksimal dari foramen tersebut, yang mulanya akut dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan.
Facial palsy atau kelumpuhan saraf fasial merupakan gejala kelumpuhan otot – otot wajah yang tampak pada waktu penderita berbicara dan dalam keadaan emosi. (Soepardi,dkk. 2003)
Facial Palsy adalah suatu kelainan, kongenital maupun didapat, yang menyebabkan paralisis seluruh ataupun sebagian pada pergerakan wajah. Aksi gerakan pada wajah dimulai dari otak dan berjalan melalui saraf facialis menuju otot-otot di wajah. Otot-otot ini selanjutnya berkontraksi sebagai respon terhadap stimulus. Di dalam tengkorak kepala, saraf facialis adalah suatu saraf tunggal. Setelah keluar dari tengkorak kepala, bercabang menjadi banyak cabang yang menuju ke berbagai otot pada wajah. Otot-otot ini mengendalikan ekspresi wajah. Aktivitas yang terkoordisnasi dari saraf dan otot-otot menyebabkan pergerakan seperti tersenyum, mengedip, menyimak, dan cakupan penuh dari pergerakan wajah normal. Penyakit ataupun cedera yang menyerang otak, nervus facialis ataupun otot-otot pada wajah dapat menyebabkan facial palsy
Facial palsy disebut juga dengan paresis. Paresis menunjukkan suatu kelemahan dalam pergerakan wajah. Palsy biasanya digunakan pada berkurangnya pergerakan sampai hilang sama sekali. (Iwantono, 2008)
Facial palsy adalah paralisis wajah karena keterlibatan perifer saraf kranial yang mengakibatkan kelemahan atau paralisis otot wajah (Brunner & Suddarth, 2002).



2.     ETIOLOGI
Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan kongenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu.
a.       Kongenital
Kelumpuhan yang didapat sejak lahir (kongenital) bersifat irreversible dan terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran. Pada kelumpuhan saraf fasialis bilateral dapat terjadi karena adanyagangguan perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).
b.      Infeksi
Proses infeksi di intraKranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yangmenyebabkan kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpesotikus. Infeksi Telinga tengah yang dapat menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik (OMSK ) yang telah merusak Kanal Fallopi.
c.       Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru,dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat kelumpuhan. Pada kasusyang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara ipsilateral.
d.      Trauma
Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal.Selain itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab. Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasimastoid, operasi neuroma akustik/neuralgia trigeminal dan operasikelenjar parotis.


e.       Gangguan Pembuluh Darah
Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteriserebri media.
f.        Idiopatik (Bell’s Palsy)
Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadiedema fasialis. Karena terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy
g.       Penyakit-penyakit tertentu
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu,misalnya DM, hepertensi berat, anestesi lokal pada pencabutan gigi,infeksi telinga tengah, sindrom Guillian Barre.Bell’s palsy dapat terjadi pada pria atau wanita segala usia dan disebabkanoleh kerusakan saraf fasialis yang disebabkan oleh radang, penekanan atau pembengkakan. Penyebab kerusakan ini tidak diketahui dengan pasti, kendatidemikian para ahli meyakini infeksi virus Herpes Simpleks sebagai penyebabnya.Sehingga terjadi proses radang dan pembengkakan saraf. Pada kasus yang ringan,kerusakan yang terjadi hanya pada selubung saraf saja sehingga proses penyembuhannya lebih cepat, sedangkan pada kasus yang lebih berat dapat terjadi jeratan pada kanalis falopia yang dapat menyebabkan kerusakan permanen serabutsaraf.Faktor-faktor yang diduga berperan menyebabkan BP antara lain: sesudah bepergian jauh dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai,hipertensi, stres, hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler,gangguan imunologik dan faktor genetik.
3.     GAMBARAN KLINIS
Biasanya timbul secara mendadak, penderita menyadari adanya kelumpuhan pada salah satu sisi wajahnya pada waktu bangun pagi, bercermin atau saat sikat gigi/berkumur atau diberitahukan oleh orang lain/keluarga bahwa salah satu sudutnya lebih rendah. Bell’s palsy hampir selalu unilateral. Gambaran klinis dapat berupa hilangnya semua gerakan volunter pada kelumpuhan total. Pada sisi wajah yang terkena, ekspresi akan menghilang sehingga lipatan nasolabialis akan menghilang, sudut mulut menurun, bila minum atau berkumur air menetes dari sudut ini, kelopak mata tidak dapat dipejamkan sehingga fisura papebra melebar serta kerut dahi menghilang. Bila penderita disuruh untuk memejamkan matanya maka kelopak mata pada sisi yang lumpuh akan tetap terbuka (disebut lagoftalmus) dan bola mata berputar ke atas. Keadaan ini dikenal dengan tanda dari Bell (lagoftalmus disertai dorsorotasi bola mata). Karena kedipan mata yang berkurang maka akan terjadi iritasi oleh debu dan angin, sehingga menimbulkan epifora. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Disamping itu makanan cenderung terkumpul diantara pipi dan gusi sisi yang lumpuh. Selain kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, tidak didapati gangguan lain yang mengiringnya, bila paresisnya benar-benar bersifat “Bell’s palsy”.
4.     PATOFISIOLOGI
Paralisis bell dipertimbangkan dengan beberapa tipe paralisis tekanan. Inflamasi dan edema saraf pada titik kerusakan atau pembuluh nutriennya tersumbat pada titik yang menyebabkan nekrosis iskemik dalam kanal yang sangat sempit, ada kelainan wajah berupa paralisis otot wajah, peningkatan lakrimasi (air mata) sensasi nyeri pada wajah, belakang telinga dan terdapat kesulitan bicara pada sisi yang terkena karena kelemahan atau otot wajah, pada kebanyakan klien, yang pertama kali mengetahui paresis pasialis adalah teman sekantor atau orang terdekat atau keluarganya.
Pada observasi dapat terlihat juga bahwa gerakan kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan kelopak mata yang sehat, lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar. Dalam mengembungkan pipi terlihat bahwa pada sisi yang lumpuh tidak mengembung. Saat mencibir, gerakan bibir tersebut menyimpang ke sisi yang tidak sehat. Jika klien diminta untuk memperlihatkan gigi geliginya atau diminta meringis, sudut mulut sisi yang lumpuh tidak terangkat, sehingga mulut tampaknya mencong kearah yang sehat. Setelah paralisis fasialis perifer sembuh, masih sering terdapat gejala sisa, pada umumnya gejala itu merupakan proses regenerasi yang salah, sehingga timbul gerakan fasial yang berasosiasi dengan gerakan otot kelompok lain, gerakan yang mengikuti gerakan otot kelompok lain itu disebut sinkinetik. Adapun gerakan sinkinetik adalah ikut terangkatnya sudut mulut pada waktu mata ditutup dan fisura palpebra sisi yang pernah lumpuh menjadi sempit, pada waktu rahang bawah ditarik keatas atau kebawah, seperti sewaktu berbicara atau mengunyah. Dalam hal ini, diluar serangan spasme fasialis, sudut mulut sisi yang pernah lumpuh tampak lebih tinggi kedudukannya daripada sisi yang sehat. Oleh karena itu, banyak kekeliruan mengenai sisi yang memperlihatkan paresis fasialis, terutama jika klien yang pernah mengalami stroke.
Saraf otak yang paling sering rusak atau putus karena trauma kapitis adalah saraf olfaktorius, kemudian saraf fasialis, lesi traumatis tersebut hampir selamanya mengenai kanalis fasialis, yaitu fraktur tulang temporal yang tidak selalu dapat diperlihatkan oleh foto rontgen. Perdarahan dan likuor mengiringi paresis fasiali sperifer traumatis, dengan auroskopi dapat dilihat adanya hematotimpani dengan atau tanpa terobeknya membrane timpani.
Pada leukemia, paresis pasialis biasanya timbul setelah klien mengeluh tentang lesu letih dan demam yang bersifat hilang timbul dengan masa bebas demam selama beberapa minggu. Gejala-gejala dini tersebut sering berlangsung lama sebelum, leukemia diketahui, setelah pemeriksaan darah, leukemia dapat diidentifikasi. Gejala-gejala yang mempercepat dilakukannya pemeriksaan darah adalah pendarahan, pembengkakan kelenjar-kelenjar limfa dan splenohepato-megalia. Infiltrasi dan perdarahan dapat terjadi disusunan saraf dan tulang tengkorak.
Pada karsinoma nasofarings paresis fasialis jarang menjadi manifestasi dini. Oleh karena lokasinya, karsinoma nasofaring menimbulkan sindrom penyumbatan tuba dengan tuli konduktif dengan keluhan. Perluasan infiltrative karsinoma nasofaring berikutnya membangkitkan perdarahan dan penyumbatan jalan lintasan nafas melalui hidung. Setelah itu, maka pada tahap berikutnya dapat timbul gangguan menelan dan kelumpuhan otot mata luar (paralisis ocular). Tumor intracranial yang paling sering menimbulkan paresis fasialis ialah tumor di sudut serebelopontin, yaitu neurinoma akustikus, gejala dini tumor tersebut adalah tuli satu sisi yang bersifat tuli persetif yang hampir selalu disertai tinnitus dan gangguan vesribular, kemudian timbul gejala akibat gangguan terhadap traktus desendens saraf trigeminus yang dapat berupa hemihipestesia ipsilateral.

5.     PATHWAY/PENYIMPANGAN KDM
6.     KOMPLIKASI
a.       Crocodile tear phenomenon
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan. Ini timbul beberapa bulan setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar ganglion genikulatum.­
b.      Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri; selalu timbul gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan (involunter) elevasi sudut mulut, kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan serabut-serabut otot yang salah.
c.       Hemifacial spasm
Timbul “kedutan” pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
d.      Kontraktur
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga lipatan nasolabialis lebih jelas terlihat pada sisi yang lumpuh dibanding pada sisi yang sehat. Terjadi bila kembalinya fungsi sangat lambat. Kontraktur tidak tampak pada waktu otot wajah istirahat, tetapi menjadi jelas saat otot wajah bergerak.
7.     PEMERIKSAAN PENUNJANG
Umumnya diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik adanya kelumpuhan nervus fasialis perifer diikuti pemeriksaan untuk menyingkirkan penyebab lain dan kelumpuhan nervus fasialis perifer.
Beberapa pemeriksaan penunjang yang penting untuk menentukan letak lesi dan derajat kerusakan nervus fasialis :
a.       Uji kepekaan saraf (nerve excitability test)
Pemeriksaan ini membandingkan kontraksi otot-otot wajah kiri & kanan setelah diberi rangsang listrik. Perbedaan rangsang lebih 3,5 mA menunjukkan keadaan patologik dan jika lebih 20 mA menunjukkan kerusakan it fasialis ireversibel.
b.       Uji konduksi saraf (nerve conduction test)
Pemeriksaan untuk menentukan derajat denervasi dengan cara mengukur kecepatan hantaran listrik pada n. fasialis kiri dan kanan.
c.       Elektromiografi
Pemeriksaan yang menggambarkan masih berfungsi atau tidaknya otot-otot wajah.
d.       Uji fungsi pengecap 2/3 bagian depan lidah Gilroy dan Meyer (1979) menganjurkan pemeriksaan fungsi pengecap dengan cara sederhana yaitu rasa manis (gula), rasa asin dan rasa pahit (pil kina).
Elektrogustometri membandingkan reaksi antara sisi yang sehat dan yang sakit dengan stimulasi listrik pada 2/3 bagian depan lidah terhadap rasa kecap pahit atau metalik. Gangguan rasa kecap pada BP menunjukkan letak lesi nervus fasialis setinggi khorda timpani atau proksimalnya.
e.       Uji Schirmer
Pemeriksaan ini menggunakan kertas filter khusus yang diletakkan di belakang kelopak mata bagian bawah kiri dan kanan. Penilaian berdasarkan atas rembesan air mata pada kertas filter berkurang atau mengeringnya air mati menunjukkan lesi nervus fasialis setinggi gelombang genikulatum.
8.     PENATALAKSANAAN
a.      Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah untuk mempertahankan tonus otot wajah dan untuk mencegah atau meminimalkan denervasi. Klien harus diyakinkan bahwa keadaan yang tejadi bukan stroke dan pulih dengan spontan dalam 3-5 minggu pada kebanyakan klien.
Terapi kortikosteroid (prednison) dapat diberikan untuk menurunkan radang dan edema, yang pada gilirannya mengurangi kompresi vaskuler dan memungkinkan perbaikan sirkulasi darah ke saraf tersebut. Pemberian awal terapi kortikosteroid ditujukan untuk mengurangi penyakit semain berat, mengurangi nyeri dan membantu mencegah atau meminimalkan denervasi.
Nyeri wajah dikontrol dengan analgesik. Kompres panas pada sisi wajah yang sakit dapat diberikan untuk meningkatkan kenyamanan dan aliran darah sampai ke otot tersebut.
Stimulasi listrik dapat diberikan untuk mencegah otot wajah menjadi atrofi. Walaupun banyak klien pulih dengan pengobatan konservatif, namun eksplorasi pembedahan pada saraf wajah dapat dilakukan pada klien yang cenderung mempunyai tumor atau untuk dekompresi saraf wajah melalui pembedahan untuk merehabilitasi keadaan paralisis wajah.









B.     ASUHAN KEPERAWATAN
a.      Pengkajian
Pengkajian keperawatan klien dengan Bell’s palsy meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan pengkajian psikososial.
·         Anamnesis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan dalah berhubungan dengan kelumpuhan otot wajah terjadi pada satu sisi.
·         Riwayat penyakit saat ini
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui karena untuk menunjang keluhan utama klien. Disini harus ditanya dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Pada pengkajian klien Bell;s palsy biasanya didapatkan keluhan kelumpuhan otot wajah pada satu sisi.
Kelumpuhan fasialis ini melibatkan semua otot wajah sesisi. Bila dahi dikerutkan, lipatan kulit dahinya hanya tampak pada sisi yang sehat saja. Bila klien disuruh memejamkan kedua matanya, maka pada sisi yang tidak sehat, kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata dan berputarnya bola mata keatas dapat disaksikan. Fenomena tersebut dikenal sebagai tanda bell.
·         Riwayat penyakit sebelumnya
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya hubungan atau menjadi predisposisi keluhan sekarang meliputi pernahkah klien mengalami penyakit iskemia vaskuler, otitis media, tumor intrakranial, truma kapitis, penyakit virus (herpes simplek, herpes zoster), penyakit autoimun, atau kombinasi semua faktor ini. Pengkajian pemakaian obat-obatan yang sering digunakan klien, pengkajian kemana klien sudah meminta pertolongan dapat mendukung pengkajian dari riwayat penyakit sekarang dan merupakan data dasar untuk mengkaji lebih jauh dan untuk memberikan tindakan selanjutnya.


·         Pengkajian psiko-sosio-spiritual
Pengkajian psikologis klien Bell’s palsy meliputi beberapa penilaian yang memungkinkan perawat untuk memperoleh persepsi yang jelas mengenai status emosi, kogniti dan perilaku klien. Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menilai respons emosi klien terhadap kelumpuhan otot wajah sesisi dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga atau masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada klien, yaitu timbul ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh). Pengkajian mengenai mekanisme koping yang secara sadar biasa digunakan klien selama masa stress meliputi kemampuan klien untuk mendiskusikan masalah kesehatan saat ini yang telah diketahui dan perubahan perilaku akibat stres.
Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien, karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dana yang tidak sedikit. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri dari dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan neurologis didalam sistem dukungan individu.
·         Pemeriksaan Fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien.

Pada klien Bell’s palsy biasanya didapatkan tanda-tanda vital dalam batas normal.
·         B1 (breathing)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan inspeksi didapatkan klien tidak batuk, tidak sesak napas, tidak ada penggunaan otot bantu napas dan frekuensi pernapasan dalam batas normal. Palpasi biasanya taktil premitus seimbang kanan dan kiri. Perkusi didapatkan resonan pada seluruh lapangan paru. Auskultasi tidak didengar bunyi napas tambahan.
·         B2 (Blood)
Bila tidak ada penyakit lain yang menyertai pemeriksaan nadi dengan frekuensi dan irama yang normal. TD dalam batas normal dan tidak terdengar bunyi jantung tambahan.
·         B3 (Brain)
Pengkajian B3 (Brain) merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainnya.
o   Tingkat kesadaran
Pada Bell’s palsy biasanya kesadaran klien compos mentis.
o   Fungsi serebri
Status mental : observasi penampilan klien dan tingkah lakunya, nilai gaya bicara klien, observasi ekspresi wajah dan aktivitas motorik yang pada klien Bell’s palsy biasanya statul mental klien mengalami perubahan.
o   Pemeriksaan saraf kranial
Saraf I                  : biasanya pada klien bell’s palsy tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan.
Saraf II                 : tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal
Saraf III, IV, VI  : penurunan gerakan kelopak mata pada sisi yang sakit (lagoftalmos).
Saraf V                 : kelumpuhan seluruh otot wajah sesisi, lipatan nasolabial pada sisi kelumpuhan mendatar, adanya gerakan sinkinetik.
Saraf VII              : berkurangnya ketajaman pengecapan, mungkin sekali edema nervus fasialis ditingkat foramen stilomastoideus meluas sampai bagian nervus fasialis, dimana khorda timpani menggabungkan diri padanya.
Saraf VIII                        : tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi
Saraf IX & X       : paralisis otot orofaring, kesukaran berbicara, menguyah dan menelan. Kemampuan menelan kurang baik, sehingga mengganggu pemenuhan nutrisi via oral.
Saraf XI               : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Kemampuan mobilisasi leher baik.
Saraf XII              : lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan mengalami kelumpuhan dan pengecapan pada 2/3 lidah sisi kelumpuhan kurang tajam.
o   Sistem motorik
Bila tidak melibatkan disfungsi neurologis lain, kekuatan otot normal, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada Bell’s palsy tidak ada kelainan.
o   Pemeriksaan refleks
Pemeriksaan refleks dalam, pengetukan pada tendon, ligamentum atau periosteum derajat refleks pada respons normal.
o   Gerakan involunter
Tidak ditemukan adanya tremor, kejang dan distonia. Pada beberapa keadaan sering ditemukan Tic fasialis.
o   Sistem sensorik
Kemampuan penilaian sensorik raba, nyeri dan suhu tidak ada kelainan.
·         B4 (Blader)
Pemeriksaan pada sistem perkemihan biasanya didapatkan berkurangnya volume haluaran urine, hal ini berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan curah jantung ke ginjal.
·         B5 (bowel)
Mulai sampai muntah dihubungkan dengan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada klien bell’s palsy menurun karena anoreksia dan kelemahan otot-otot pengunyah serta gangguan proses menelan menyebabkan pemenuhan via oral menjadi berkurang.
·         B6 (Bone)
Penurunan kekuatan otot dan penurunan tingkat kesadaran menurunkan mobilitas klien secara umum. Dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari klien lebih banyak dibantu oleh orang lain.
b.     Diagnosa Keperawatan
1.      Perfusi jaringan cerebral tidak efektif b/d gangguan aliran arteri dan vena
2.      Gangguan body image berhubungan dengan krisis situasional
3.      Gangguan mobilitas fisik Berhubungan Kerusakan muskuloskeletal dan neuromuskuler


















BAB III
KESIMPULAN

 Bell’s palsy didefinisikan sebagai suatu keadaan paresis atau kelumpuhanyang akut dan idiopatik akibat disfungsi nervus facialis perifer. Penyebab Bell’s palsy adalah edema dan iskemia akibat penekanan (kompresi) pada nervusfasialis.
Kelumpuhan perifer Nervus VII memberikan ciri yang khas hingga dapatdidiagnosa dengan inspeksi. Otot muka pada sisi yang sakit tak dapat bergerak.Lipatan-lipatan di dahi akan menghilang dan nampak seluruh muka sisi yang sakit akan mencong tertarik ke arah sisi yang sehat. Gejala kelumpuhan perifer ini tergantung dari lokalisasi kerusakan.






















DAFTAR PUSTAKA

Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2003.
Johnson Marion PhD, RN, Maas Meridean, PhD, RN, Faan Sue mooerhead, PhD,RN.1995. Nursing Outcomes Classifocation ( NOC ) . Printed in the UnitedStates of America.
Muttaqin ,Arif .2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan System Persarafan. Salemba Medika:Jakarta
McCloskey Joanne C,PhD, RN,Faan dan Gloria M. Bulechek, PhD, RN. 1996. Nursing Intervention Classification ( NIC). Printed in the United States of America.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar